Apakah Biaya Perjalanan Dinas Masuk Objek ‘Pajak Natura’?

Sejak berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan kini menjadi objek pajak bagi penerima, dan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari sisi pemberi. Sebagai panduan teknis, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang perlakuan PPh atas imbalan pekerjaan/jasa dalam bentuk natura/kenikmatan (PMK 66/2023). PMK tersebut juga mengatur mengenai batasan natura/kenikmatan yang tidak menjadi objek pajak. Meskipun begitu, masih banyak muncul pertanyaan di kalangan wajib pajak terkait perlakuan natura/kenikmatan, salah satunya yang berkaitan dengan perjalanan dinas.

Tak jarang perusahaan mengirimkan pegawainya untuk melakukan perjalanan dinas, baik di dalam negeri maupun luar negeri, sebagai bagian dari kegiatan bisnis. Dalam pelaksanaannya, saat perjalanan dinas, pegawai umumnya diberikan akomodasi seperti penginapan, uang transportasi, uang makan, hingga uang saku. Dengan berlakunya PMK 66/2023, menimbulkan pertanyaan bagi wajib pajak apakah natura/kenikmatan sehubungan dengan perjalanan dinas menjadi objek ‘pajak natura‘, atau dalam konteks diterima orang pribadi menjadi objek PPh Pasal 21.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Redaksi Ortax berkesempatan mendengar pendapat dari pengamat pajak sekaligus partner dari Fast Consult Indonesia, Arie Widodo.

Biaya Perjalanan Dinas: Biaya Operasional vs Imbalan Bagi Pekerja

PMK 66/2023 mengatur pengenaan pajak atas imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan sehubungan pekerjaan atau jasa. Di sisi lain, biaya perjalanan dinas menurut Arie Widodo lebih tepat dikelompokkan sebagai biaya operasional. “Sebenarnya biaya perjalanan dinas, termasuk komponen biaya operasional. Bahkan di Pasal 6 ayat 1 UU PPh, sangat jelas dipisahkan antara biaya perjalanan dengan biaya berkenaan dengan pekerjaan,” jelasnya.

Menurutnya, yang menjadi objek dari ‘pajak natura’ adalah natura/kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa. Dari sisi legal, imbalan tersebut dapat mengacu pada apa yang tercantum dalam kontrak kerja. “Secara umum, biaya yang terjadi sehubungan dengan penggantian/imbalan pekerjaan dapat dilihat atau tercantum dalam kontrak kerja antara perusahaan dengan karyawan atau di peraturan perusahaan,” tambahnya.

Namun, Arie Widodo juga menyebutkan masih terdapat potensi pemotongan PPh Pasal 21. Dalam perjalanan dinas, dimungkinkan terdapat unsur uang saku, uang transport, uang makan bahkan ‘uang kemahalan’. Atas imbalan berupa uang tersebut menurut Arie dapat memiliki potensi dikenakan PPh Pasal 21.

Biaya Perjalanan Dinas ASN Bukan Objek PPh Pasal 21

Arie Widodo menyebutkan terdapat isu yang menarik jika dibandingkan dengan biaya perjalanan dinas yang dilakukan oleh pejabat negara, PNS, anggota TNI/Polri dan pensiunannya. Secara tegas, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 (PMK 262/2010), telah mengatur pengenaan PPh Pasal 21 terkait perjalanan dinas. Dalam Pasal 3 PMK 262/2010, disebutkan bahwa biaya perjalanan dinas termasuk yang tidak dikenakan PPh 21.  Ketentuan biaya perjalanan dinas bagi ASN diatur dalam PMK 113/PMK.05/2012, yang dapat berupa uang harian, transport, penginapan, uang representasi, sewa kendaraan, dan lain-lain.

Dengan adanya pengaturan tersebut, menurut Arie Widodo muncul ketidakadilan pengenaan PPh Pasal 21 atas perjalanan dinas yang dilakukan oleh perusahaan swasta. “Jadi sangat tidak fair jika atas sebagian biaya perjalanan dinas dilakukan oleh perusahaan swasta dikenakan PPh Pasal 21, sedangkan seluruh biaya perjalanan dinas oleh pemerintah tidak dikenakan PPh Pasal 21.

Pembayaran Biaya Perjalanan Dinas dengan Mekanisme Lumpsum/Reimbursement

Secara umum, terdapat tiga jenis pembayaran biaya perjalanan dinas yaitu lumpsum, reimbursement atau penggantian, dan pemberian uang muka. Lumpsum artinya pembayaran sekaligus di awal uang perjalanan dinas berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount). Dengan mekanisme ini, karyawan diberikan seluruh uang perjalanan dinas di awal dan mungkin tanpa pengembalian uang sisa atau pengembalian uang sisa. Perusahaan sudah menghitung standar biaya secara detail dan sesuai dengan prinsip kewajaran.

Arie Widodo menjelaskan, jika biaya perjalanan dinas dibayarkan secara lumpsum, pemotongan PPh Pasal 21 mungkin timbul dalam hal tidak terdapat pengembalian uang sisa. “Jika karyawan diwajibkan melakukan pengembalian uang sisa, membuatkan perincian biaya yang dikeluarkan dan melampirkan dokumen tersebut sebagai pertanggungjawaban maka seharusnya tidak ada yang terutang PPh Pasal 21. Namun jika tidak diwajibkan pengembalian uang sisa dan kewenangan diberikan sepenuhnya buat karyawan, maka di kasus ini memiliki potensi objek PPh Pasal 21,” jelas Arie.

Dalam mekanisme reimbursement, Arie menjelaskan tidak terdapat pemotongan PPh Pasal 21. “Reimbursement/penggantian artinya penggantian biaya yang telah dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti atau adanya laporan pertanggungjawaban. Untuk hal ini biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan perjalanan dinas seharusnya bukan objek PPh Pasal 21,” ungkapnya.

Dokumentasi Terkait Biaya Perjalanan Dinas

Hal penting yang perlu dilakukan adalah melakukan dokumentasi. Selain pembukuan yang dilakukan wajib pajak, dokumentasi perjalanan dinas akan menjadi bukti pendukung ketika wajib pajak menentukan treatment pemotongan pajak atas biaya perjalanan dinas. Arie Widodo menyebutkan, selain surat tugas, bukti akomodasi, penting juga bagi wajib pajak untuk menyiapkan laporan kegiatan/laporan pertanggungjawaban. “Pertama yang perlu diperhatikan adalah dokumen pendukung perjalanan dinas tersebut, misal adanya surat tugas dari pimpinan atau invitation meeting dari penyelenggara kegiatan, bukti pengeluaran (tiket, boarding pass, hotel, dan lain-lain), laporan kegiatan berupa dokumentasi/foto/video, disertai dengan laporan pertanggungjawaban biaya yang dikeluarkan” jelas Arie.

Simpulan

Biaya perjalanan dinas merupakan bagian dari biaya operasional dari perusahaan. PMK 66/2023 mengatur mengenai imbalan natura/kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan/jasa, sehingga biaya perjalanan dinas sebagai biaya operasional tidak masuk dalam lingkup PMK 66/2023. Namun, masih terdapat potensi pemotongan PPh Pasal 21, misalnya untuk uang saku atau sisa lebih dari biaya perjalanan dinas yang dibayarkan secara lumpsum. Maka dari itu, penting bagi wajib pajak untuk melakukan dokumentasi, mulai dari surat tugas, bukti pengeluaran, laporan kegiatan, serta laporan pertanggungjawaban.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait